Beranda | Artikel
Rumah yang Dibeli dengan Hutang Riba, Haruskah Dijual?
Rabu, 7 September 2022

Pertanyaan:

Qadarullah kami sudah membeli rumah dengan cara kredit melalui bank. Kami baru tau ternyata membeli rumah melalui bank itu termasuk riba ustadz. Bagaimana cara kami bertaubat? Apakah rumah yang sudah kami beli ini harus dijual ustadz? Mohon penjelasannya.

Jawaban:

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala asyrafil anbiya’ wal mursalin, nabiyyina Muhammadin, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du.

Pertama, benar bahwa membeli rumah dengan cara kredit melalui bank pada umumnya merupakan transaksi riba. Karena realitanya bank hanya memberikan pinjaman uang kepada nasabah untuk membeli rumah. Kemudian nasabah mengembalikan uang pinjaman tersebut secara kredit dengan nilai yang lebih besar. 

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan:

البنوك ما تقرض الا بربا، ما تقرض البنوك إلا بفائدة ربوية فلا يجوز، إن حصلتَ على قرضٍ حسَن بدون فوائد فهذا لا بأس به هذا طيَب أما البُنوك فالمَعروف عنها ونظامُها كذلك لا تُقْرض إلا بربا يَسْتثمرون القَرض

“Bank tidaklah menghutangi kecuali dengan riba. Tidaklah bank menghutangi seseorang kecuali dengan tambahan riba dalam pengembaliannya, maka ini tidak dibolehkan. Jika seseorang bisa berhutang dengan qardhul hasan (hutang tanpa riba), tanpa adanya tambahan, maka ini tidak mengapa. Adapun bank, maka sudah ma’ruf dengan riba. Demikian juga sistem yang ada pada bank, ia tidaklah memberikan hutang kecuali dengan riba, mereka mengambil keuntungan dari hutang.” (http://www.alfawzan.af.org.sa/node/16110)

Al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta’ juga mengatakan:

يحرم أخذ قرض من البنوك وغيرها بربا، سواء كان أخذه القرض للبناء أم للاستهلاك في طعام أو كسوة أو مصاريف علاج، أم كان أخذه للتجارة به وكسب نمائه، أم غير ذلك؛ لعموم آيات النهي عن الربا

“Diharamkan berhutang ke bank atau lembaga lainnya dengan cara riba. Baik untuk membangun rumah, atau untuk aktivitas konsumtif seperti membeli makanan, pakaian, atau pengobatan. Demikian juga tidak boleh berhutang riba untuk modal usaha atau semisalnya. Berdasarkan keumuman ayat-ayat yang melarang riba.” (Fatawa al-Lajnah, 13/385)

Dan kita semua telah mengetahui bahwa riba adalah salah satu dosa besar. Allah ta’ala berfirman,

وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ

“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. al-Baqarah: 275)

Allah ta’ala berfirman,

يَمْحَقُ اللّٰهُ الرِّبٰوا وَيُرْبِى الصَّدَقٰتِ

“Allah akan menghancurkan riba dan menumbuhkan keberkahan pada sedekah.” (QS. al-Baqarah: 276)

Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ’anhu, ia berkata,

لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ  آكِلَ الرِّبَا وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat pemakan harta riba, orang yang memberi riba, juru tulisnya, dan saksi-saksinya. Beliau berkata, ‘Mereka semua sama’.” (HR. Muslim no. 2995)

Kedua, wajib segera bertaubat dari transaksi riba, karena begitu besar dosanya. Cara bertaubat dari transaksi riba adalah dengan melakukan tiga hal:

  1. Al-iqla’, berhenti melakukan riba setelah mengetahui larangannya.
  2. An-nadam, menyesal dengan penyesalan yang mendalam telah melakukan transaksi riba.
  3. Al-‘azm, bertekad untuk tidak mengulanginya lagi.

Al-Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan:

هِيَ أَنْ يَكُونَ الْعَبْدُ نَادِمًا عَلَى مَا مَضَى؛ مُجْمِعًا عَلَى أَلَّا يَعُودَ فِيهِ

“Taubat seorang hamba adalah dengan menyesal terhadap apa yang telah ia lakukan, ditambah dengan tekad untuk tidak melakukannya lagi.” (Tafsir al-Baghawi, 8/169)

Al-Qurthubi rahimahullah juga mengatakan:

يَجْمَعُهَا أَرْبَعَةُ أَشْيَاءَ: الِاسْتِغْفَارُ بِاللِّسَانِ ، وَالْإِقْلَاعُ بِالْأَبْدَانِ ، وَإِضْمَارُ تَرْكِ الْعَوْدِ بِالْجَنَانِ ، وَمُهَاجَرَةُ سَيِّئِ الْإِخْوَانِ

“Taubat itu menggabungkan 4 hal: istighfar dengan lisan, berhenti melakukan maksiat dengan badan, bertekad untuk tidak kembali melakukannya dengan anggota badan, dan menjauhi teman-teman yang buruk.” (Tafsir al-Baghawi, 8/169)

Ketiga, walaupun berhutang dengan cara riba hukumnya haram, namun uang yang didapatkan dari hutang riba tersebut sah menjadi hak milik penghutang. Demikian juga barang-barang yang dibeli dengan uang tersebut, sah menjadi hak miliknya. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Munajjid menjelaskan:

يجوز لصديقك أن يبيع منزله لمن تقدم لشرائه ، ولو كان المشتري سيحصل على المال من الاقتراض بالربا ؛ لأن الحرام هنا متعلق بالمقترض ، والقرض بشرط الربا وإن كان محرما إلا أنه يفيد الملك في مذهب الحنفية والحنابلة وقول للشافعية ، أي أن المقترض بالربا يملك المال الذي اقترضه ، وعليه فيصح أن يشتري به ما شاء ، مع إثم الربا

“Tidak mengapa teman Anda menjual rumahnya kepada orang yang akan membelinya tersebut walaupun si pembeli mendapatkan uangnya dari hutang riba. Karena keharaman di sini melekat pada si penghutang. Dan hutang riba itu walaupun termasuk perbuatan haram, namun pada uang yang dihutangi terjadi perpindahan kepemilikan, menurut ulama Hanafiyah, Hanabilah, dan salah satu pendapat ulama Syafi’iyah. Artinya, orang yang meminjam uang secara riba, ia tetap dianggap memiliki uang tersebut sehingga bisa digunakan untuk melakukan pembelian. Namun demikian ia mendapatkan dosa riba.” (Fatawa Mauqi Islam Sual wa Jawab, no.99366)

Contohnya, Fulan meminjam uang ke bank sebesar 300 juta rupiah untuk membeli rumah. Lalu bank mencairkan pinjaman tersebut dengan kesepakatan bunga 10%, sehingga Fulan akan mengembalikan sebesar 330 juta rupiah kepada bank dalam tempo 10 tahun. Maka dalam kasus ini Fulan dan pihak bank telah melakukan transaksi riba dan mereka semua berdosa besar. Namun 300 juta yang didapatkan Fulan itu sah menjadi hak miliknya dan rumah yang ia beli dengan uang tersebut juga sah menjadi miliknya. Adapun 30 juta kelebihan yang didapatkan bank adalah harta haram. Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman, jauhkanlah diri kalian dari kelebihan riba. Jika kalian benar-benar beriman.” (QS. al-Baqarah: 278)

Jika penjelasan di atas telah dipahami, maka akan dipahami pula bahwa rumah atau kendaraan yang telah dibeli dengan cara berhutang riba, itu tidak harus dijual. Karena telah sah menjadi hak milik si penghutang riba.

Dewan Fatwa Islamweb ketika ditanya tentang orang yang membeli mobil dengan cara berhutang riba, mereka mengatakan:

فإن السيارة سيارته وهي ملك له، ولو اشتراها بما اقترضته اقتراضا ربويا؛ وإثم الربا إنما يتعلق به هو لا بالسيارة، فاستعماله لها ليس محرما، وما ينتج عنها ليس محرما 

“Mobil yang telah Anda beli tersebut, adalah milik Anda. Walaupun Anda membelinya dengan cara berhutang riba. Dosa riba melekat pada perbuatan Anda tersebut, bukan melekat pada mobil. Maka menggunakan mobil ini tidaklah haram. Dan penghasilan yang didapatkan dari mobil ini pun tidak haram.” (Fatawa Islamweb no.106503)

Namun jika cicilan hutang riba ke bank belum lunas, sebagai bentuk kesungguhan bertaubat dari transaksi riba, kami nasehatkan untuk berusaha melunasinya sesegera mungkin. Agar semakin cepat terlepas dari lingkaran transaksi-transaksi riba.

Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberikan taufik dan kemudahan kepada kita semua.

***

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.


Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/39447-rumah-yang-dibeli-dengan-hutang-riba-haruskah-dijual.html